LIBERALISME, SANG PEMBAHARU “PEMBEDA” ISLAM
BAB I
PENDAHULUAN
Islam merupakan agama yang kaya akan corak pemikiran, hal ini ditunjukkan oleh banyaknya aliran dan kelompok yang ada dalam agama tersebut. Menurut sebagian orang keragaman dan keberbedaan yang ada di dalam tubuh islam ini merupakan kutukan bagi umat islam yang pada akhirnya akan menyaret umat islam pada sebuh perpecahan. Entah mau disebut apa keragaman dan keberbedaan itu , yang jelas kenyatan ini menunjukkan bahwa umat islam adalah umat yang dinamis, yang selalu berfikir, bukan umat statis yang bodoh yang menyia-nyiakan akalnya. Walaupun memang, pada sisi lain keberagaman dan keberbedaan ini juga mengundang perpecahan dan konflik dalam islam itu sendiri jika hal itu tidak di sikapi secara arif. Karena pada kenyataanya sebagian dari kelompok dan aliran itu memang ada yang mengusung sebuah pemikiran dan gagasan yang jelas-jelas berbeda dan bertentangan dengan faham yang telah mapan yang dianut oleh kebanyakan umat islam, baik umat islam secara umum maupun dalam wilayah tertentu.
Di Indonesia sendiri keragaman akan Islam sangat nyata terjadi. Hal ini di tunjukkan dengan banyaknya kelompok dan aliran yang tersebar di seluruh pelosok negeri. Masing-masing dari mereka menawarkan metode dan produk tentang keislaman. Ada yang konservatif, ada juga yang modernis. Ada yang pragmatis, ada juga yang reformis.
Salah satu dari sekian banyak kelompok dan aliran di Indonesia, yang paling banyak diperbincangkan dan diperdebatkan keberadaan dan eksistensinya adalah Islam liberal yang pada awal mula berdirinya membawa semboyan “islam yang membebaskan”. Hal ini di karenakan metode dan produk keislaman yang mereka tawarakan cenderung atau bisa di katakan jelas malawan pemahaman dan pemikiran keislaman yang telah mapan di Indonesia.
Atas dasar itu, pada kesempatan kali ini penulis mencoba menguraikan tentang apa itu Islam Liberal dan pandangan-pandangan mereka tentang Al-quran dan penafsirannya yang relative baru dalam dunia keislaman. Dengan harapan semoga bermanfaat untuk pemahamn kita dalam studi islam dan memperkaya khazanah kita dalam ke-Tafsir Hadis-an. Amin.
BAB II
PEMBAHASAN
- ISLAM LIBERAL DAN PERKEMBANGANNYA
Secara etimologi Islam Liberal di susun dari dua kata, yaitu Islam dan Liberal. Islam berarti agama Islam, sedangkan liberal berarti bebas dan atau kebebasan. Apabila digabung maka kata liberal akan menjadi sifat dari Islam, yamg memang islam selalu di lekati dengan kata sifat. Sebab kenyataanya Islam memang ditafsiri secara berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan penafsirnya. Secara singkat Islam Liberal berarti Islam yang bebas dan atau membebaskan. Mengapa islam liberal? Kerena ini sesuai dengan faham yang mereka anut, yaitu Islam yang menekankan kebebasan pribadi ban pembebasan dari struktur social politik yang menindas.[1] Gerakan islam liberal bertujuan untuk membebaskan umat islam dari kejumudan dan keterkungkungan.[2]
Dalam konteks global Islam Liberal bermula sejak abad ke 18, di kala kerajaan Usmani dinasti Syafawi dan kerajaan Mughol berada di gerbang kehancuran. Pada saat itulah para ulama tampil mengadakan gerakan yang mereka namai pemurnian, untuk mengajak para umat kembali pada Al-quran dan Al-hadist. Ketika itulah muncul cikal bakal paham liberalisme melalui Syah Waliyullah (India, 1703-1762). Menurutnya Islam harus mengikuti adat lokal suatu tempat sesuai dengan kebutuhan penduduknya. Hal ini juga terjadi di kalangan Syiah dimana waktu itu muncul Aqa Muhammad Baqir Bihbihani (Iran, 1790), yang mulai berani mendobrak pintu ijtihad dan membukanya lenar-lebar.
Seiring berjalannya waktu, faham liberal ini terus bergulir. Hingga pada akhirnya munculnya Rifa’ah Rofi’ al-Tahtawi (1801-1873) di Mesir yang memasukkan unsur-unsur Eropa kedalam pendidikan islam. Kamudian di Rusia dan Bukhoro masing masing muncul Shihabuddin Marjani (1818-1889) dan Ahmad Makhdun (1817-1897) yang memasukkan sekulerisme ke dalam pendidikan islam. Di India muncul Sir Sayyid Ahmadkhan (1817-1890) yang membujuk kaum muslimin untuk bekerja sama dengan penjajah Inggris. Kemudian Muhammad Arkoun (1928), seorang cendikiawan muslim Aljazair yang menetap di Prancis. Ia menggagas sebuah metode tafsir Alquran yang menngadopsi disiplin ilmu barat. Ia ingin menelaah Islam berdasarkan ilmu-ilmu barat modern. Lalu di Pakistan ada Fazlur Rohman (lahir1919) yang memilki gagasan metode tafsir kontekstual, sebuah metode tafsir yang paling adil dan terbaik menurutnya. Ia menetap di Amerika Serikat dan menjadi guru besar di universitas Chicago.[3]
Adapun konteks regional Indonesia, faham liberal “diperkenalkan” oleh Nur Cholis Majid, murid Fazlur Rohman di Chicago, pada tahun 1970an dengan gagasannya, pluralisme beragama. Serta Harun Nasution, lulusan Mc Gill Univercity Kanada, yang pada tahun 1973 berhasil memengaruhi institusi perguruan tinggi islam setelah bukunya, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspek, di tetapkan sebagai pegangan wajib mahasiswa IAIN se-Indonesia dalam mata kuliah “pengantar ilmu agama islam”. Kedua tokoh inilah yang membidani islam liberalisme di Indonesia, walaupun disamping kedua tokoh tersebut sebetulnya ada sederetan nama lain, misal Djohan Efendi Dan Ahmad Wahib, yang jua memiliki gagasan liberal[4].
Lambat laun liberalisme makin berkembang di Indonesia hingga pada tahun 1990 beberapa aktivis muda mengadakan berbagai diskusi didaerah Utan Kayu 68 H Jakarta untuk membahas berbagai masalah kekinian pada waktu itu. Gerakan ini bertujuan untuk melawan islam garis keras dan menampilakn islam dengan wajah baru. Selanjutnya kelompok ini bermetamorfosis menjadi sebuah komunitas yang di namai Komunitas Islam Utan Kayu, sebuah nama yang terinspirasi dari tempat berlangsungnya diskusi tadi. Komunitas inilah yang merupakan embrio dari Jaringan Islam Liberal yang “mengguncangkan” itu, yang berdiri pada tahun 2001. Ada beberapa nama yang terlibat dalam pembentukan komunitas ini yang pada akhirnyapun menjadi petinggi dari JIL. Seperti Ulil Abshor Abdalla, lutfi Assaukani, Saiful Mujani, dan Berhanuddin.[5]
Setelah JIL berdiri dan mengklaim diri mereka sebagai wadah yang terbuka bagi siapapun yang memiliki gagasan dan kepedulian terhadap gagasan islam liberal, mereka di kenal sangat getol menyebarkan ajaran islam liberal. Menurut mereka islam liberal adalah suatu penafsiran yang di landasi oleh beberapa hal, antara lain:
- Membuka pintu ijtihad dalam semua dimensi islam
- Mengutamakan semangat religio etik, bukan makna literal teks
- Mempercayai kebeharan yang reletif, terbuku, dan plural
- Memihak pada munoritas dan tertindas
- Meyakini kebebasa beragama
- Memisahkan otoritas duniawi dan ukhrowi, otoritas politik dan keagamaan[6]
Hal-hal di atas mungkin merupakan AD/ART mereka, karena menurut sebagian akademisi, setelah melakukan penelusuran, JIL tidak memiliki AD/ART secara spesifik.[7]
Pada mulanya istilah Islam Liberal tidak begitu di kenal maysrakat luas, ini merupakan gajala yang wajar, di kerenakan gagasan-gasan mereka yang controversial sehingga menjadikannya kaum minoritas. Akan tetapi sejak tahu 2005 setelah MUI mengeluarkan fatwa haram tentang Islam Liberal dan mengikutinya, istilah Islam Liberal semakin meluas dan semakin di kenal masyarakat. Memang terkadang ada benarnya istilah orang jawa, “kotoran lek di wenei pager, seng ngeti selot mberah”.
- AL-QURAN DALAM PERSPEKTIF ISLAM LIBERAL
Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa Islam Liberal memang syarat akan pandang-pandangan yang kontroversial. Tak terkecuali pandangan mereka tentang Alquran. Menurut mereka Alquran merupakan produk manusia yang tak luput dari kekeliruan dan kesalahan. Hal ini tak lepas dari pandanga mereka bahwa Alquran merupakan produk sejarah manusia, seperti kitab suci yang lain. Sebagai buku Alquran merupakan hasil dari pengumpulan, penyelesian, pengeditan, dan pencetakan, hingga akhirnya menjadi sebuah buku suci. Sumber penulisan alquran Adalah wahyu yang di sampaikan oleh nabi.[8]
Mungkin sebagian dari kita mempertanyakan, mengapa mesti di anggap ada keselahan-kekeliruan? Toh penulisan dan penghimpunannya bersumber dari wahyu yang di sampaikan oleh Nabi Muhammad. Ada beberapa hal yang melatarbelakangi semua ini. Pertama, karena memang pada kenyataannya Alquran adalah produk dari proses manusiawi, seperti telah di terangkan di atas, maka Alquran tidak akan pernah luput dari kesalahan dan kekeliruan. Yang kedua, kerena dalam perjalanan Alquran sebagai sebuah kitab suci sangat kental akan pertarung politik, social, kekuasaan. Hal ini tampak jelas sejak awal mula di bukukan.
Dan yang perlu di garis bawahi adalah pembukuan Alquran adalah upaya belakangan yang dilakukan oleh para sahabat dan generasi muslim selanjutnya, karena pada mulanya wahyu bersifat oral dan tidak pernah diniatkan secara sengaja untuk di jadikan kitab suci.[9] Mungkin pada waktu itu para sahabat merasa iri bahwa umat umat sebelumnya memiliki alquran memiliki kitab suci sedang kan umat islam belum mempunyai.
Pada masa kholifah Usman pembukuan Alquran pun cukup menuai masalah. Hal ini merupakan dampak dari mushaf yang telah di bukukan dan bakukan oleh kholifah Usman banyak berbeda dengan mushaf yang beradar pada wktu itu. Perbedaan ini lebih di sebabkan karena banyaknya para penulis wahyu pada masa turunya Alquran,[10] baik atas penunjukan langsung oleh Nabi Muhammad SAW. atau atas inisiatif sendiri. Banyaknya penulis ini pada akhirnya berbuntut pada banyaknya spekulasi tentang jumlah mushaf yang beredar pada masa Nabi. Seprti halnya apa yang diyakini oleh Ahmad Von Denver seorang penulis sejarah Alquran modern bahwa paling tidak ada 23 mushaf yang di alamatkan pada para penulis wahyu itu.[11]
Perbedaan yang tersebut di atas adakalanya dalam sisi bacaan, ini di sebabkan karena lalai dan cerobohnya seorang punulis Alquran. Misalnya di kisahkan, ayat (Q.S. 13:31)أفلم يتبين الذين أمنوا, ditulis dengan أفلم يايأس الذين أمنوا . Ibnu abbas yang mendapatkan ayat mengatakan bahwa penulis ayat itu sedang mengantuk. Contoh lainnya, ayat ووصى ربك أن لاتعبدوا الااياه (Q.S. 17:23), ditulis dengan وقضى ربك أن لاتعبدوا الااياه. Ibnu abbas mengomentari bahwa penulis ayat ini memakai tinta yng terlalu berlebihan sehingga huruf wawu mencemari huruf shod hingga menjadi huruf qof. [12] Ada juga yang berbeda dalam jumlah ayat seperti yang di katakana oleh Jalaluddin al-Suyuti tentang complain Aisyah dalam kitabnya al itqon, “pada masa nabi suart al ahzab berjumlah 200 ayat, setelah Usman melakukan kodifikasi jumlahnya menjadi sekarang ini (75 ayat).[13] Atau berbeda dalam masalah jumlah surat, sebagai contoh, mushaf milik Ubay berjumlah 115 surat, sementara mushaf milik Ibnu Mas’ud berjumlah 108, dan mushaf milik Ibnu Abbas 116. Perbedaan seperti ini adakalanya di sebabkan adanya perhitungan ganda pada satu surat atau penguraian satu surat menjadi beberapa bagian dikarenakan surat tersbut terlalu panjang,[14] sedangkan mushaf usmani sendiri berjumlah 114 surat. Atau beda dalam kosa kata akibat pemahaman makna dan bukan hanya persoalan absennya titk atau harokat. Misalnya, mushah Ibnu Mas’ud berulang kali menggunakan kata “arsyidna” katimbamh “ihdina” (keduanya berarti, tunjukkan kami) yang bias di dapati dalam mushaf Usmani. Begitu juga, “man” sebagai kata ganti ”alladzi”. Daftar ini bias di perpanjang dengan kata dan arti yang berbeda, seperti “al-talaq” menjadi “al-sarah” (Ibnu Abbas), “fas’au” menjadi “famdhu” (Ibnu Mas’ud), “linuhyiya” manjadi “linunsyira” (Talhah), dan sebagainya.[15] Dan kadang berbeda dalam susunannya, ini di karenakan mushaf usmani di tulis berdasarkan konsensus para sahabat yang bentuk finalnya dimulai dengan surat al-fatihah dan di akiri dengan surat al-nas. Sedangkan mushaf yang lain ada yang di tulis berdasarkan kronologis.[16]
Walaupun pada akhiryan para sarjana Alquran berargument bahwa keputusan Usman untuk membukukan Alquran dengan sedimikian rupa didasarkan atas petunjuk Nabi. Di riwayatkan bahwa setiap Nabi Muhammad SAW. menerima wahyu, beliau memerintahkan sekertrisnya untuk menempatkan ayat itu pada posisi tertentu. Akan tetapi riwayat yang seperti ini juga pro`blematik, bukan hanya karena nama surat datang belakangan dan datang dengan beragam nama, tapi juga kerena penyusunan yang sempurma mengandaiakan adanya kelengkapan ayat. Padahal kita tahu bahwa alquran turun secara piece meal (sepotong sepotong) selama kurang lebih 23 tahun.[17]
Selanjutnya, setelah pembukuan dan pembakuan yang di lakukan oleh Usman, Alquran di sebar luaskan ke berbagai negara islam. Dan pada kenyataanya Alquran yang di sebar luaskan tersebut adalah dengan tanpa tanda baca,[18] sehingga bagi seseorang yang tidak pernah mendengarkan bunyi kata dalam Alquran harus merujuk pada otoritas yang bisa melafalkannya. Dan tidak sedikit dari para pemegang otoritas tersebut adalah para pewaris varian bacaan non usmani. Apabila otoritas tidak di jumpai maka kaum muslimin pada saat itu umumnya melakukan konsensus dengan berdasarkan kaidah bahasa arab dan kecenderungan pada makna sebuah teks.[19]
Sehingga, sejarah menyebutkan pada abad ketiga dan keempat adalah masa-masa sulit bagi sejarah setandarsasi Alquran. Meski secara umum kaum muslim masih menggunakan dan berpegang pada mushaf usmani, akan tetapi mereka tetap mengakui adanya ragam bacaan selain mushaf usmani.[20] Untuk mengatasi semakin liarnya varian-varian bacaan alquran, pada tahun 322 H Kholifah Abbasiyyah melalui dua menterinya, Ibnu Isa dan Ibnu Muqlah, mengutus Ibnu Mujahid 324 H untuk melakukan penertiban. Ibnu Majahid merupakan sarjana Alquran yang bekerja pada kerajaan Abbasiyah. Setelah melihat berbagai varian bacaan Alquran dan dikomparasikan dengan yang ada di “tanganya”, Ibnu Mujahid memilih tujuh bacaan Alquran dari para qurro ternama, yakni, Ibnu Amir (Syam, wafat 118), Ibnu Katsir (Mekkah, wafat 119), Nafi’ (Madinah, wafat 169), Ali Kisai (Kufah, wafat 189), ‘Asim (Kufah, wafat 158), Hamzah (Kufah, wafat 156), Abu Amr (Basroh, wafat 153).[21] Barangkali langkah yang di ambil oleh Ibnu Mujahid terinpirasi dari hadist Nabi yang menyatakan bahwa Alquran di turunkan dalam tujuh huruf. Tapi juga tidak menutup kemungkinan apa yang dilakukan Ibnu Mujahid dipengaruhi oleh social-politik. Hal ini terbukti dari kasus Ibnu Miqsom dan Ibnu Sinabud, dimana pandangan-pandangan keduanya di kesampingkan karena antara keduanya dan Ibnu Mujahid terjadi rivalitas, khususnya Ibnu Sinabud dan Ibnu Mujahid. Memang pada waktu itu sebagian ulama menolak dengan apa yang telah dipilih oleh Ibnu Mujahid dan mereka beranggapan bahwa Ibnu Mujahid telah bertindak semena-mena mengesampingkan bacaan yang lebih shohih. Tapi bagaimanapun usaha dan reaksi ulama tidak banyak berpengaruh. Pandangan Ibnu Mujahid yang di dukung penuh oleh pemerintah itulah yang akhirnya bertahan dan di terima oleh khalayak umum.[22]
Melihat demikian panjang, jelimet, dan penuh akan “intrik-intrik” dalam penyusunan dan pengkonversian Alquran menjadi “kitab suci”, maka penulisan mushaf menjadi satu mungkin bisa diterima, akan tetapi dengan catatan bahwa dia jauh dari kesempunaan. Karena memang dalam perjalanannya, Alquran selalu di bawah bayang-bayang social, politik, dan kekuasaan. Klaim keterjagaan Alquran dengan demikian harus di pahami bukan dalam konteks manusiawi, melainkan dalam konteks ilahi.[23]
- METODE PENAFSIRAN ISLAM LIBERAL
Sang pembaharu islam, seperti judul diatas, tampaknya “cukup” pantas di sematkan pada kelompok Islam Liberal. Bagaimana tidak, hampir semua dari segmen-segmen keislaman mereka rekontruksi. Tak terkecuali metode penafsiran Alquran dan metode pembacaan (ushul fikih). Menurut mereka, apa yang telah di lakukun oleh para cendikiawan muslim, terutama pesantren, yang memandang bahwa metode penafsiran dan ushul fikih yang dirumuskan oleh ulama klasik telah sempurna, tuntas, dan jauh dari cacat epistemologi manapun, adalah sesuatu yang “salah”. Karena dengan begitu, menurut mereka, para cendikiawan tersebut telah memutlakan sesuatu yang sebetulnya masih sangat relatif. Karena bagaimanapun metode-metode tersebut adalah buatan manusia.
Menurut mereka, kaidah-kaidah tersebut seharusnya ditempatkan sesuai dengan proporsinya sebagai buatan manusia. Sebab akhir-akhir ini seringkali fakta akademis kontemporer menayangkan ketidakberdayaan dan atau bahkan kerapuhan kaidah-kaidah tersebut. Antara lain :
ü Metodologi lama terlalu memandang sebelah meta terhadap kemampuan akal publik dalam menyulih apalagi menganulir ketentuan legal formalistik di dalam islam yang tidak lagi relevan. Di tegaskan bahwa ketika terjadi pertentangan antara akal publik dan bunyi teks harfiyah ajaran, metodologi lampau selalu mengambil cara menundukkan terhadap akal publik.
ü Metodologi klasik kurang hirau terhadap kemampuan manusia di dalam merumuskan konsep kemaslahatan walau untuk dirinya sendiri. Manusia tidak memiliki reputasi dan kedudukan dalam ruang ushul fikih klasik kecuali sebagai sasaran hukum.
ü Pemberhalaan teks dan pengabaian realitas adalah merupakan ciri umum dari metodologi lama. Aktivitas ijtihad selalu digerakkan dalam area teks. Ijtihad yang tidak berkulminasi pada teks di anggap ilegal, sebab teks merupakan aksis dari seluruh cara pemecahan problem.[24]
Kaum liberal berangapan bahwa dalam konsep ilmu tafsir dan ushul fikih lama, teks di anggap sebagai manifestasi dari keseluruhan dan dengan demikian menjadi dasar dalam mengukur segala persoalan yang menyangkut hal-ihwal manusia. Tendensi untuk bergeser dari makna harfiyah teks, apalagi melampirkan pertimbangan lain di luar ketentuan bunyi teks ajaran, di pandang sebagai sebuah skandal dan kejahatan teologis yang tidak terampuni. Selanjutnya apabila terjadi sengketa antara teks verbal dalam kitab suci dengan realitas, solusi yang di tawarkakan oleh orang-orang “lama” adalah menundukkan realitas dalam bekapan teks harfiyah.[25] Lalu dalam ideologi agamawan konsevatif rasionalisme diletakan sebagai benteng untuk menjaga dogma, itulah mengapa manusia terkesan “hanya” segagai obyek hukum Berbeda halyan dengan paradigma kaum liberal bahwa rasionalisme adalah untuk melakukan reinterpretsi hingga untuk mengapkir tafsir keagaman yang tidak lagi relevan dengan zaman.[26]
Menurut mereka metodologi yang sedimikian itu adalah lemah dan problematik dari segi epistemologi dan ontologi, oleh karena itu metode-metode tersebut memerlukan sebuah penanganan. Dengan merekontuksi kaidah-kaidah tersebut diharapkan produk-produk keislaman menjadi lebih solutif bagi problem-problem kemanusiaan yang semakin melilit. Kecanggihan sebuah metodologi terutama dalam ilmu terapan islam misal ilmu tafsir dan ushul fikih akan berkoresponden dengan kepiawaiannya di dalam menciptakan kemslahatan bagi sebesar-besarnya umat manusia.[27]
Dalam paradigma ilmu tefsir dan ushul fikih klasik selalu di nyatakan bahwa rujukan primer dalam islam adalah Al-quran, Al-hadist, ijmak, dan qiyas, secara berurutan. Mungkin ini di sebabkan karena Alquran di yakini sebagai wahyu dari Allah SWT. yang segala sesuatu harus ada dalam kendalinya, bahkan masa dulu dan masa sekarang harus patuh pada apa-apa yang telah di tetapkan Alquran, kitab yang turun lebih dari seribu tahun yang lalu. Anggapan yang seperti ini mungkin di dasari atas keyakinan bahwa Alquran memiliki daya jangkau yang meliputi masa lalu, sekarang, dan akan datang.[28]
Padahal kenyatannya alquran yang di klaim sebagai poros sumber terdapat berbagai kontradiksi, baik secara lafdiyah maupun gagasan dan isu. Memang pertentangan yang bersifat lafdiyah telah banyak di bahas oleh para ilmuan muslim klasik, ini terbukti dengan banyaknya kaidah-kaidah yang membahas tentang lafal, misal, pembahasan tentang lafal ‘am,khos, muqoyyad, mutlaq, dan mubayyan. Akan tetapi pertentang yang berupa gagasan dan isu, misal pluralisme vs absolutisme agama,[29] masih sangat minim. Tidak banyak dari ulama dan cendikiawan muslim yang memilki perhatian terhadap gasasan yang kontradiktif itu, baik dengan cara memperbarui penafsiran atau dengan menyusun sebuah metodilogi pembacaan baru.
Bertolak dari itu, islam liberal mencoba menawarkan adanya perubahan dalam hirarki sumber rujukan hukum islam. Apabila dalam gagasan ulama salaf menempatkan Alquran dan Alhadist sebagai poros dalam sumber ajaran islam, maka menurut Islam Liberal yang menempati posisi pertama dalam hirarki sumber tersebut adalah maqosid al-syar’iah, baru setelah itu Al-quran dan Al-hadist secara berurutan. Maqosid al-syar’iah menempati posisi di atas ketentuan-ketentuan spesifik Al-quran. Dengan begitu apabila ada pertentangan antara spesifikasi hukum yang di tawarkan oleh Al-lquran dengan maqosid al-syar’iah maka hukum itu harus di takwil, dan atau bahkan ketentuan itu harus batal atau di batalkan demi logika maqqosid al-sya’iah.
Dalam khazanah usul fikih klasik maqosid al-syar’iah meliputi, [1] keadilan, al-‘adlu, [2] kamaslahatan, al-maslahah, [3] kesetaraan, al-musawah,[4] hikmah-kebijaksanaan, al-hikmah,[5] dan cinta kasih, al-rohmah. Belakangan di tambah beberapa poin lagi, yaitu pluralism (al-ta’addud), hak asasi manusia (huquq al-insan), dan kesetraan gender.[30] Sedangkan menurut al-ghozali, maqosid al-syar’iah meliputi 5 hal, yaitu: [1] terjaganya hidup, hifdz al-nafs, [2] terjaganya agama, hifdz al-din, [3]terjaganya akal, hifdz al-‘aql,[4] terjaganya harta, hifdz al-mal, [5] terjaganya keturunan, hifdu nasl.[31]
Seperti di jelaskan di atas bahwa islam liberal beranggapan kaidah tafsir dan usul fikih klasik memang membutuhkan adanya sebuah penanganan dan rekontruksi untuk terwujudnya produk-produk islam yamg lebih solutif dan relevan. Maka, untuk merealisasikannya, upaya yang mereka tempuh salah satunya adalah dengan menawarkan metode penafsiran dan pembacaan alternative yang secara jelas menjadikan maqosid al-syar’iah sebagai tumpuan utama. Metode itu antara lain sebagai berikut:
- العبرة بالمقاصدلابالألفاظ
- جوازالنسخ النصوص الجزءية بالمصلحة
- تنقيح النصوص بالعقل المجتمع يجوز
- ان خالف العقل والنقل قدم العقل بطريق التخصيص والبيان
Kalau kita lihat memang tampak jelas sekali bahwa dalam metode yang di tawarkan oleh Islam Liberal sangat menghargai posisi dan akal manusia, manusia di proyeksikan sebagai subyek hukum, tidak hanya obyek hukum. Dan juga tampak jelas bahwa kaidah-kaidah di atas begitu mementingkan maqosid al-sya’iah dan menjadikannya sebagai poros dari segala hukum. Wallahu a’lam.
BAB III
KESIMPULAN
Dari uraian di atas kita dapat menarik kesimpulan sebagai berikut:
v Terlepas setuju atau tidak setuju, suka atau tidak suka, benar atau salah, keberadaan Islam Liberal cukup memberi warna dalam islam itu sendiri. Baik secara khazanah keilmuan maupun dalam berprinsip.
v Islam liberal memang sangat berbeda dengan ajaran-ajaran yang telah mapan, regional Indonesia khususnya, muslim dunia pada umumnya. Baik cara mereka memandang Alquran, maupau cara mereka berprinsip dalam menentukan suatu hukum.
Akan tetapi perbedaan yang seperti ini jangan lantas berdampak pada sebuah perpecahan dalam tubuh islam. Bukankah Nabi pernah berkata, “ akan pecah umatku menjadi tujuh puluh tiga golongan, semua masuk surga kecuali satu ”[32]. Mari mencoba mencari persamaan dalam perbedaan, bukan lantas sebaliknya.
Memang pada mulanya apa yang di bawa oleh Islam liberal itu berdamoak pada kecurigaan kaum konservatif, apakah itu murni dari pemikiran islam mereka atau cuma sebatas hukum pesanan yang bertujuan nutuk menggrogoti islam dari dalam. Tetapi itulah wajah yang di tampakkan oleh Islam liberal, yang jelas seperti halnya yang di katakana imam Malik bahwa “kullu qoulin yuqbalu au yuroddu illa qouli shohibi hadzal qobri” (sembari belia menunjuk makam Rosulullah SAW.
Semoga bermanfaat. Amin.
[1] Islamlib.com/id/halaman/tentang-jil
[2] Al-azizah.com-ruang-dosen/87-ruang-dosen/160-siapa-jil.html
[3] ibid
[4] ibid
[5] ibid
[6] Islamlib.com/id/halaman/tentang-jil
[7] Al-azizah.com-ruang-dosen/87-ruang-dosen/160-siapa-jil.html
[8] Metodologi studi alquran hal 31
[9] Metodologi studi alquran, hal31
[10] Ibid, hal 11
[11] Ibid, hal 11
[12] Ibid, hal 16
[13]Ijtihad islam liberal hal 3
[14] Metode studi islam, hal 11
[15] Ijtihad islam liberal, hal 4
[16] Secara kronologis, surat yang pertama kali di turokan adalah surat al-‘Alaq ayat 1-5, yang dalam versi Usman menjadi surat yang ke 96. Sedangkan surat (ayat) yang terakhir di turunkan ada beberapa pendapat. Ada yang mengatan surat al- Maidah ayat 3, dan ada juga yang mengatakan sepenggal ayat dari surat ala-Baqoroh ayat 281.
[17] Metodologi stidi alquran hal15
[18] Pada awal penulisannya Alquran memang di tulis dengan bentuk primitive, penulisannya masih dengan tanda baca. System tanda baca baru di temukan pada abad ke-7 ketika Abu al-Aswad al-Dua’alli (wafat 688), seorang sarjana yang bekerja pada Dinasti Umayyah, mencoba mengatasi berbagai kemusykilan dalam pembacaan Alquran.
[19] Ijtihad islam liberal,hal 4
[20] Metodologi studi alquran, hal 17
[21] Ijtihad islam liberal hal 5
[22] Ibid, hal 5
[23] Metodologi studi alquran hal 31
[24] Metodologi setudi alquran hal 140
[25] Ibid, hal 141
[26] Pengantar “Ijtihad islam liberal”.
[27] Ibid 141
[28] Metode studi Alquran hal,148
[29] Lebih jelas lihat metodologi studi alquran hal 149
[30] Metode studi alquran hal151
[31] Al-mastasfa
[32] Jalaluddin Rohmat, Islam Aktual, hal 28