Liberalisme Sang Pembaharu -Pembeda- Islam

LIBERALISME, SANG PEMBAHARU “PEMBEDA” ISLAM

BAB I

PENDAHULUAN

Islam merupakan agama yang kaya akan corak pemikiran, hal ini ditunjukkan oleh banyaknya aliran dan kelompok yang ada dalam agama tersebut. Menurut sebagian orang keragaman dan keberbedaan yang ada di dalam tubuh islam ini merupakan kutukan bagi umat islam yang pada akhirnya akan menyaret umat islam pada sebuh perpecahan. Entah mau disebut apa keragaman dan keberbedaan itu , yang jelas kenyatan ini menunjukkan bahwa umat islam adalah umat yang dinamis, yang selalu berfikir, bukan umat statis yang bodoh yang menyia-nyiakan akalnya. Walaupun memang, pada sisi lain keberagaman dan keberbedaan ini juga  mengundang perpecahan dan konflik dalam islam itu sendiri jika hal itu tidak di sikapi secara arif. Karena pada kenyataanya sebagian dari kelompok dan aliran itu memang ada yang mengusung sebuah pemikiran dan gagasan yang jelas-jelas berbeda dan bertentangan dengan faham yang telah mapan yang  dianut oleh kebanyakan umat islam, baik umat islam secara umum maupun dalam wilayah tertentu.

Di Indonesia sendiri keragaman akan Islam sangat nyata terjadi. Hal ini di tunjukkan dengan banyaknya kelompok dan aliran yang tersebar di seluruh pelosok negeri. Masing-masing dari mereka menawarkan metode dan produk tentang keislaman. Ada yang konservatif, ada juga yang modernis. Ada yang pragmatis, ada juga yang reformis.

Salah satu dari sekian banyak kelompok dan aliran di Indonesia, yang paling banyak diperbincangkan dan diperdebatkan keberadaan dan eksistensinya adalah Islam liberal yang pada awal mula berdirinya membawa semboyan “islam yang membebaskan”. Hal ini di karenakan metode dan produk keislaman yang mereka tawarakan cenderung atau bisa di katakan jelas malawan  pemahaman dan pemikiran keislaman yang telah mapan di Indonesia.

Atas dasar itu, pada kesempatan kali ini penulis mencoba menguraikan tentang apa itu Islam Liberal dan pandangan-pandangan mereka tentang Al-quran dan penafsirannya yang relative baru dalam dunia keislaman. Dengan harapan semoga bermanfaat untuk pemahamn kita dalam studi islam dan memperkaya khazanah kita dalam ke-Tafsir Hadis-an. Amin.

BAB II

PEMBAHASAN

  1. ISLAM LIBERAL DAN PERKEMBANGANNYA

 

Secara etimologi Islam Liberal di susun dari dua kata, yaitu Islam dan Liberal. Islam berarti agama Islam, sedangkan liberal berarti bebas dan atau kebebasan. Apabila digabung maka kata liberal akan menjadi sifat dari Islam, yamg memang  islam selalu di lekati dengan kata sifat. Sebab kenyataanya Islam memang ditafsiri secara berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan penafsirnya. Secara singkat Islam Liberal berarti Islam yang bebas dan atau membebaskan. Mengapa islam liberal? Kerena ini sesuai dengan faham yang mereka anut, yaitu Islam yang menekankan kebebasan pribadi ban pembebasan dari struktur social politik yang menindas.[1] Gerakan islam liberal bertujuan untuk membebaskan umat islam dari kejumudan dan keterkungkungan.[2]

Dalam konteks global Islam Liberal bermula sejak abad ke 18, di kala kerajaan Usmani dinasti Syafawi dan kerajaan Mughol berada di gerbang kehancuran. Pada saat itulah para ulama tampil mengadakan gerakan yang mereka namai pemurnian, untuk mengajak para umat kembali pada Al-quran dan Al-hadist. Ketika itulah muncul cikal bakal paham liberalisme melalui Syah Waliyullah (India, 1703-1762). Menurutnya Islam harus mengikuti adat lokal suatu tempat sesuai dengan kebutuhan penduduknya. Hal ini juga terjadi di kalangan Syiah dimana waktu itu muncul Aqa Muhammad Baqir Bihbihani (Iran, 1790), yang mulai berani mendobrak pintu ijtihad dan membukanya lenar-lebar.

Seiring berjalannya waktu, faham liberal ini terus bergulir. Hingga pada akhirnya munculnya Rifa’ah Rofi’ al-Tahtawi (1801-1873) di Mesir yang memasukkan unsur-unsur Eropa kedalam pendidikan islam. Kamudian di Rusia dan Bukhoro masing masing muncul Shihabuddin Marjani (1818-1889) dan Ahmad Makhdun (1817-1897) yang memasukkan sekulerisme ke dalam pendidikan islam. Di India muncul Sir Sayyid Ahmadkhan (1817-1890) yang membujuk kaum muslimin untuk bekerja sama dengan penjajah Inggris. Kemudian Muhammad Arkoun (1928), seorang cendikiawan muslim Aljazair yang menetap di Prancis. Ia menggagas sebuah metode tafsir Alquran yang menngadopsi disiplin ilmu barat. Ia ingin menelaah Islam berdasarkan ilmu-ilmu barat modern. Lalu di Pakistan ada Fazlur Rohman (lahir1919) yang memilki gagasan metode tafsir kontekstual, sebuah metode tafsir yang paling adil dan terbaik menurutnya. Ia menetap di Amerika Serikat dan menjadi guru besar di universitas Chicago.[3]

Adapun konteks regional Indonesia, faham liberal “diperkenalkan” oleh Nur Cholis Majid, murid Fazlur Rohman di Chicago, pada tahun 1970an dengan gagasannya, pluralisme beragama. Serta Harun Nasution, lulusan Mc Gill Univercity Kanada, yang pada tahun 1973 berhasil memengaruhi institusi perguruan tinggi islam setelah bukunya, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspek, di tetapkan sebagai pegangan wajib mahasiswa IAIN se-Indonesia dalam mata kuliah “pengantar ilmu agama islam”. Kedua tokoh inilah yang membidani islam liberalisme di Indonesia, walaupun disamping kedua tokoh tersebut sebetulnya ada sederetan nama lain, misal Djohan Efendi Dan Ahmad Wahib, yang jua memiliki gagasan liberal[4].

Lambat laun liberalisme makin berkembang di Indonesia hingga pada tahun 1990 beberapa aktivis muda mengadakan berbagai diskusi didaerah Utan Kayu 68 H Jakarta untuk membahas berbagai masalah kekinian pada waktu itu. Gerakan ini bertujuan untuk melawan islam garis keras dan menampilakn islam dengan wajah baru. Selanjutnya kelompok ini bermetamorfosis menjadi sebuah komunitas yang di namai Komunitas Islam Utan Kayu, sebuah nama yang terinspirasi dari tempat berlangsungnya diskusi tadi. Komunitas inilah yang merupakan embrio dari Jaringan Islam Liberal yang “mengguncangkan” itu, yang berdiri pada tahun 2001. Ada beberapa nama yang terlibat dalam pembentukan komunitas ini yang pada akhirnyapun menjadi petinggi dari JIL. Seperti Ulil Abshor Abdalla, lutfi Assaukani, Saiful Mujani, dan Berhanuddin.[5]

Setelah JIL berdiri dan mengklaim diri mereka sebagai wadah yang terbuka bagi siapapun yang memiliki gagasan dan kepedulian terhadap gagasan islam liberal, mereka di kenal sangat getol menyebarkan ajaran islam liberal. Menurut mereka islam liberal adalah suatu penafsiran yang di landasi oleh beberapa hal, antara lain:

  • Membuka pintu ijtihad dalam semua dimensi islam
  • Mengutamakan semangat religio etik, bukan makna literal teks
  • Mempercayai kebeharan yang reletif, terbuku, dan plural
  • Memihak pada munoritas dan tertindas
  • Meyakini kebebasa beragama
  • Memisahkan otoritas duniawi dan ukhrowi, otoritas politik dan keagamaan[6]

Hal-hal di atas mungkin merupakan AD/ART mereka, karena menurut sebagian akademisi, setelah melakukan penelusuran, JIL tidak memiliki AD/ART secara spesifik.[7]

Pada mulanya istilah Islam Liberal tidak begitu di kenal maysrakat luas, ini merupakan gajala yang wajar, di kerenakan gagasan-gasan mereka yang controversial sehingga menjadikannya kaum minoritas. Akan tetapi sejak tahu 2005 setelah MUI mengeluarkan fatwa haram tentang Islam Liberal dan mengikutinya, istilah Islam Liberal semakin meluas dan semakin di kenal masyarakat. Memang terkadang ada benarnya istilah orang jawa, “kotoran lek di wenei pager, seng ngeti selot mberah”.

  1. AL-QURAN DALAM PERSPEKTIF ISLAM LIBERAL

Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa Islam Liberal memang syarat akan pandang-pandangan yang kontroversial. Tak terkecuali pandangan mereka tentang Alquran. Menurut mereka Alquran merupakan produk manusia yang tak luput dari kekeliruan dan kesalahan. Hal ini tak lepas dari pandanga mereka bahwa Alquran merupakan produk sejarah manusia, seperti kitab suci yang lain. Sebagai buku Alquran merupakan hasil dari pengumpulan, penyelesian, pengeditan, dan pencetakan, hingga akhirnya menjadi sebuah buku suci. Sumber penulisan alquran Adalah wahyu yang di sampaikan oleh nabi.[8]

Mungkin sebagian dari kita mempertanyakan, mengapa mesti di anggap ada keselahan-kekeliruan? Toh penulisan dan penghimpunannya bersumber dari wahyu yang di sampaikan oleh Nabi Muhammad. Ada beberapa hal yang melatarbelakangi semua ini. Pertama, karena memang pada kenyataannya Alquran adalah produk dari proses manusiawi, seperti telah di terangkan di atas, maka Alquran tidak akan pernah luput dari kesalahan dan kekeliruan. Yang kedua, kerena dalam perjalanan Alquran sebagai sebuah kitab suci sangat kental akan pertarung politik, social, kekuasaan. Hal ini tampak jelas sejak awal mula di bukukan.

Dan yang perlu di garis bawahi adalah pembukuan Alquran adalah upaya belakangan yang dilakukan oleh para sahabat dan generasi muslim selanjutnya, karena pada mulanya wahyu bersifat oral dan tidak pernah diniatkan secara sengaja untuk di jadikan kitab suci.[9] Mungkin pada waktu itu para sahabat merasa iri bahwa umat umat sebelumnya memiliki alquran memiliki kitab suci sedang kan umat islam belum mempunyai.

Pada masa kholifah Usman pembukuan Alquran pun cukup menuai masalah. Hal ini merupakan dampak dari mushaf yang telah di bukukan dan bakukan oleh kholifah Usman banyak berbeda dengan mushaf yang beradar pada wktu itu. Perbedaan ini lebih di sebabkan karena banyaknya para penulis wahyu pada masa turunya Alquran,[10] baik atas penunjukan  langsung oleh Nabi Muhammad SAW. atau atas inisiatif sendiri. Banyaknya penulis ini pada akhirnya berbuntut pada banyaknya spekulasi tentang jumlah mushaf yang beredar pada masa Nabi. Seprti halnya apa yang diyakini oleh Ahmad Von Denver seorang penulis sejarah Alquran modern bahwa paling tidak ada 23 mushaf yang di alamatkan pada para penulis wahyu itu.[11]

Perbedaan yang tersebut di atas adakalanya dalam sisi bacaan, ini di sebabkan karena lalai dan cerobohnya seorang punulis Alquran. Misalnya di kisahkan, ayat  (Q.S. 13:31)أفلم يتبين الذين أمنوا, ditulis dengan  أفلم يايأس الذين أمنوا . Ibnu abbas yang mendapatkan ayat mengatakan bahwa penulis ayat itu sedang mengantuk. Contoh lainnya, ayat    ووصى ربك أن لاتعبدوا الااياه (Q.S. 17:23), ditulis dengan  وقضى ربك أن لاتعبدوا الااياه. Ibnu abbas mengomentari bahwa penulis ayat ini memakai tinta yng terlalu berlebihan sehingga huruf wawu mencemari huruf shod hingga menjadi huruf qof. [12] Ada juga yang berbeda dalam jumlah ayat seperti yang di katakana oleh Jalaluddin al-Suyuti tentang complain Aisyah dalam kitabnya al itqon, “pada masa nabi suart al ahzab berjumlah 200 ayat, setelah Usman melakukan kodifikasi jumlahnya menjadi sekarang ini (75 ayat).[13] Atau berbeda dalam masalah jumlah surat, sebagai contoh, mushaf  milik Ubay berjumlah 115 surat, sementara mushaf milik Ibnu Mas’ud berjumlah 108, dan mushaf milik Ibnu Abbas 116. Perbedaan seperti ini adakalanya di sebabkan adanya perhitungan ganda  pada satu surat atau penguraian satu surat menjadi beberapa bagian dikarenakan surat tersbut terlalu panjang,[14] sedangkan mushaf usmani sendiri berjumlah 114 surat. Atau beda dalam kosa kata akibat pemahaman makna dan bukan hanya persoalan absennya titk atau harokat. Misalnya, mushah Ibnu Mas’ud berulang kali menggunakan kata “arsyidna” katimbamh “ihdina” (keduanya berarti, tunjukkan kami) yang bias di dapati dalam mushaf Usmani. Begitu juga, “man” sebagai kata ganti ”alladzi”. Daftar ini bias di perpanjang dengan kata dan arti yang berbeda, seperti “al-talaq” menjadi “al-sarah” (Ibnu Abbas), “fas’au” menjadi “famdhu” (Ibnu Mas’ud), “linuhyiya” manjadi “linunsyira” (Talhah), dan sebagainya.[15] Dan kadang berbeda dalam susunannya, ini di karenakan mushaf usmani di tulis berdasarkan konsensus para sahabat yang bentuk finalnya dimulai dengan surat al-fatihah dan di akiri dengan surat al-nas. Sedangkan mushaf yang lain ada yang di tulis berdasarkan kronologis.[16]

Walaupun pada akhiryan para sarjana Alquran berargument bahwa keputusan Usman untuk membukukan Alquran dengan sedimikian rupa didasarkan atas petunjuk Nabi. Di riwayatkan bahwa setiap Nabi Muhammad SAW. menerima wahyu, beliau memerintahkan sekertrisnya untuk menempatkan ayat itu pada posisi tertentu. Akan tetapi riwayat yang seperti ini juga pro`blematik, bukan hanya karena nama surat datang belakangan dan datang dengan beragam nama, tapi juga kerena penyusunan yang sempurma mengandaiakan adanya kelengkapan ayat. Padahal kita tahu bahwa alquran turun secara piece meal (sepotong sepotong) selama kurang lebih 23 tahun.[17]

Selanjutnya, setelah pembukuan dan pembakuan yang di lakukan oleh Usman, Alquran di sebar luaskan ke berbagai negara islam. Dan pada kenyataanya Alquran yang di sebar luaskan tersebut adalah dengan tanpa tanda baca,[18] sehingga bagi seseorang yang tidak pernah mendengarkan bunyi kata dalam Alquran harus merujuk pada otoritas  yang bisa melafalkannya. Dan tidak sedikit dari para pemegang otoritas tersebut  adalah para pewaris varian bacaan non usmani. Apabila otoritas tidak di jumpai maka kaum muslimin pada saat itu umumnya melakukan konsensus dengan berdasarkan kaidah bahasa arab dan kecenderungan pada makna sebuah teks.[19]

Sehingga, sejarah menyebutkan  pada abad ketiga dan keempat adalah masa-masa sulit bagi sejarah setandarsasi Alquran. Meski secara umum kaum muslim masih menggunakan  dan berpegang pada mushaf usmani, akan tetapi mereka tetap mengakui  adanya ragam bacaan selain mushaf usmani.[20] Untuk mengatasi semakin liarnya varian-varian bacaan alquran, pada tahun 322 H Kholifah Abbasiyyah melalui dua menterinya, Ibnu Isa dan Ibnu Muqlah, mengutus Ibnu Mujahid 324 H untuk melakukan penertiban. Ibnu Majahid merupakan sarjana Alquran yang bekerja pada kerajaan Abbasiyah. Setelah melihat berbagai varian bacaan Alquran dan dikomparasikan dengan yang ada di “tanganya”, Ibnu Mujahid memilih tujuh bacaan Alquran dari para qurro ternama, yakni, Ibnu Amir (Syam, wafat 118), Ibnu Katsir (Mekkah, wafat 119), Nafi’ (Madinah, wafat 169), Ali Kisai (Kufah, wafat 189), ‘Asim (Kufah, wafat 158), Hamzah (Kufah, wafat 156), Abu Amr (Basroh, wafat 153).[21] Barangkali langkah yang di ambil oleh Ibnu Mujahid terinpirasi dari hadist Nabi yang menyatakan bahwa Alquran di turunkan dalam tujuh huruf. Tapi juga tidak menutup kemungkinan apa yang dilakukan Ibnu Mujahid dipengaruhi oleh social-politik. Hal ini terbukti dari kasus Ibnu Miqsom dan Ibnu Sinabud, dimana pandangan-pandangan keduanya di kesampingkan karena antara keduanya dan Ibnu Mujahid terjadi rivalitas, khususnya Ibnu Sinabud dan Ibnu Mujahid. Memang pada waktu itu sebagian ulama  menolak dengan apa yang telah dipilih oleh Ibnu Mujahid dan mereka beranggapan bahwa Ibnu Mujahid telah bertindak semena-mena mengesampingkan bacaan yang lebih shohih. Tapi bagaimanapun usaha dan reaksi ulama tidak banyak berpengaruh. Pandangan Ibnu Mujahid yang di dukung penuh oleh pemerintah itulah yang akhirnya bertahan dan di terima oleh khalayak umum.[22]

Melihat demikian panjang, jelimet, dan penuh akan “intrik-intrik” dalam penyusunan dan pengkonversian Alquran menjadi “kitab suci”, maka penulisan mushaf menjadi satu mungkin bisa diterima, akan tetapi dengan catatan bahwa dia jauh dari kesempunaan. Karena memang dalam perjalanannya, Alquran selalu di bawah bayang-bayang social, politik, dan kekuasaan. Klaim keterjagaan Alquran dengan demikian harus di pahami bukan dalam konteks manusiawi, melainkan dalam konteks ilahi.[23]

 

  1. METODE PENAFSIRAN ISLAM LIBERAL

 

Sang pembaharu islam, seperti judul diatas, tampaknya “cukup” pantas di sematkan pada kelompok Islam Liberal. Bagaimana tidak, hampir semua dari segmen-segmen keislaman mereka rekontruksi. Tak terkecuali metode penafsiran Alquran dan metode pembacaan (ushul fikih). Menurut mereka, apa yang telah di lakukun oleh para cendikiawan muslim, terutama pesantren, yang memandang bahwa metode penafsiran dan  ushul fikih yang dirumuskan oleh ulama klasik telah sempurna, tuntas, dan jauh dari cacat epistemologi manapun, adalah sesuatu yang “salah”. Karena dengan begitu, menurut mereka, para cendikiawan tersebut telah memutlakan sesuatu yang sebetulnya masih sangat relatif. Karena bagaimanapun metode-metode tersebut adalah buatan manusia.

Menurut mereka, kaidah-kaidah tersebut seharusnya ditempatkan sesuai dengan proporsinya sebagai buatan manusia. Sebab akhir-akhir ini seringkali fakta akademis kontemporer menayangkan ketidakberdayaan dan atau bahkan kerapuhan kaidah-kaidah tersebut. Antara lain :

ü  Metodologi lama terlalu memandang sebelah meta terhadap kemampuan akal publik dalam menyulih apalagi menganulir ketentuan legal formalistik di dalam islam yang tidak lagi relevan. Di tegaskan bahwa ketika terjadi pertentangan antara akal publik dan bunyi teks harfiyah ajaran, metodologi lampau selalu mengambil cara menundukkan terhadap akal publik.

ü  Metodologi klasik kurang hirau terhadap kemampuan manusia di dalam merumuskan konsep kemaslahatan walau untuk dirinya sendiri. Manusia tidak memiliki reputasi dan kedudukan dalam ruang ushul fikih klasik kecuali sebagai sasaran hukum.

ü  Pemberhalaan teks dan pengabaian realitas adalah merupakan ciri umum dari metodologi lama. Aktivitas ijtihad selalu digerakkan dalam area teks. Ijtihad yang tidak berkulminasi pada teks di anggap ilegal, sebab teks merupakan aksis dari seluruh cara pemecahan problem.[24]

Kaum liberal berangapan bahwa  dalam konsep ilmu tafsir dan ushul fikih lama, teks di anggap sebagai manifestasi dari keseluruhan dan dengan demikian menjadi dasar dalam mengukur segala persoalan yang menyangkut hal-ihwal manusia. Tendensi untuk bergeser dari makna harfiyah teks, apalagi melampirkan pertimbangan lain di luar ketentuan bunyi teks ajaran, di pandang sebagai sebuah skandal dan kejahatan teologis yang tidak terampuni. Selanjutnya apabila terjadi sengketa antara teks verbal dalam kitab suci dengan realitas, solusi yang di tawarkakan oleh orang-orang “lama” adalah menundukkan realitas dalam bekapan teks harfiyah.[25] Lalu dalam ideologi agamawan konsevatif  rasionalisme diletakan sebagai benteng untuk menjaga dogma, itulah mengapa manusia terkesan “hanya” segagai obyek hukum Berbeda halyan dengan paradigma kaum liberal bahwa rasionalisme adalah untuk melakukan reinterpretsi hingga untuk mengapkir tafsir keagaman yang tidak lagi relevan dengan zaman.[26]

Menurut mereka metodologi yang sedimikian itu adalah lemah dan problematik dari segi epistemologi dan ontologi, oleh karena itu metode-metode tersebut memerlukan sebuah penanganan. Dengan merekontuksi kaidah-kaidah tersebut diharapkan produk-produk keislaman menjadi lebih solutif bagi problem-problem kemanusiaan yang semakin melilit. Kecanggihan sebuah metodologi terutama dalam ilmu terapan islam misal ilmu tafsir dan ushul fikih akan berkoresponden dengan kepiawaiannya di dalam menciptakan kemslahatan bagi sebesar-besarnya umat manusia.[27]

Dalam paradigma ilmu tefsir dan ushul fikih klasik selalu di nyatakan bahwa rujukan primer dalam islam adalah Al-quran, Al-hadist, ijmak, dan qiyas, secara  berurutan. Mungkin ini di sebabkan karena Alquran di yakini sebagai wahyu dari Allah SWT. yang segala sesuatu harus ada dalam kendalinya, bahkan masa dulu dan masa sekarang harus patuh pada apa-apa yang telah di tetapkan Alquran, kitab yang turun lebih dari seribu tahun yang lalu. Anggapan yang seperti ini mungkin di dasari atas keyakinan bahwa Alquran memiliki daya jangkau yang meliputi masa lalu, sekarang, dan akan datang.[28]

Padahal kenyatannya alquran yang di klaim sebagai poros sumber terdapat berbagai kontradiksi, baik secara lafdiyah maupun gagasan dan isu. Memang pertentangan yang bersifat lafdiyah telah banyak di bahas oleh para ilmuan muslim klasik, ini terbukti dengan banyaknya kaidah-kaidah yang membahas tentang lafal, misal, pembahasan tentang lafal ‘am,khos, muqoyyad, mutlaq, dan mubayyan. Akan tetapi pertentang yang berupa gagasan dan isu, misal pluralisme vs absolutisme agama,[29] masih sangat minim. Tidak banyak dari ulama dan cendikiawan muslim yang memilki perhatian terhadap gasasan yang kontradiktif itu, baik dengan cara memperbarui penafsiran atau dengan menyusun sebuah metodilogi pembacaan baru.

Bertolak dari itu, islam liberal mencoba menawarkan adanya perubahan dalam hirarki sumber rujukan hukum islam. Apabila dalam gagasan ulama salaf menempatkan Alquran dan Alhadist sebagai poros dalam sumber ajaran islam, maka menurut Islam Liberal yang menempati posisi pertama dalam hirarki sumber tersebut adalah maqosid al-syar’iah, baru setelah itu Al-quran dan Al-hadist secara berurutan. Maqosid al-syar’iah  menempati posisi di atas ketentuan-ketentuan spesifik Al-quran. Dengan begitu apabila ada pertentangan antara spesifikasi hukum yang di tawarkan oleh Al-lquran dengan maqosid al-syar’iah maka hukum itu harus di takwil, dan atau bahkan ketentuan itu harus batal atau di batalkan demi logika maqqosid al-sya’iah.

Dalam khazanah usul fikih klasik maqosid al-syar’iah meliputi, [1] keadilan, al-‘adlu, [2] kamaslahatan, al-maslahah, [3] kesetaraan, al-musawah,[4] hikmah-kebijaksanaan, al-hikmah,[5] dan cinta kasih, al-rohmah. Belakangan di tambah beberapa poin lagi, yaitu pluralism (al-ta’addud), hak asasi manusia (huquq al-insan), dan kesetraan gender.[30] Sedangkan menurut al-ghozali, maqosid al-syar’iah meliputi 5 hal, yaitu: [1] terjaganya hidup, hifdz al-nafs, [2] terjaganya agama, hifdz al-din, [3]terjaganya akal, hifdz al-‘aql,[4] terjaganya harta, hifdz al-mal, [5] terjaganya keturunan, hifdu nasl.[31]

Seperti di jelaskan di atas bahwa islam liberal beranggapan kaidah tafsir dan usul fikih klasik memang membutuhkan adanya sebuah penanganan dan rekontruksi untuk terwujudnya produk-produk islam yamg lebih solutif dan relevan. Maka, untuk merealisasikannya, upaya yang mereka tempuh salah satunya adalah dengan menawarkan metode penafsiran dan pembacaan alternative yang secara jelas menjadikan maqosid al-syar’iah sebagai tumpuan utama. Metode itu antara lain sebagai berikut:

  1. العبرة بالمقاصدلابالألفاظ
  2. جوازالنسخ النصوص الجزءية بالمصلحة
  3. تنقيح النصوص بالعقل المجتمع يجوز
  4. ان خالف العقل والنقل قدم العقل بطريق التخصيص والبيان

 

Kalau kita lihat memang tampak jelas sekali bahwa dalam metode yang di tawarkan oleh Islam Liberal sangat menghargai posisi dan akal manusia, manusia di proyeksikan sebagai subyek hukum, tidak hanya obyek hukum. Dan juga tampak jelas bahwa kaidah-kaidah di atas  begitu mementingkan maqosid al-sya’iah dan menjadikannya sebagai poros dari segala hukum. Wallahu a’lam. 

 

 

 

BAB III

KESIMPULAN

Dari uraian di atas kita dapat menarik kesimpulan sebagai berikut:

v  Terlepas setuju atau tidak setuju, suka atau tidak suka, benar atau salah, keberadaan Islam Liberal cukup memberi warna dalam islam itu sendiri. Baik secara khazanah keilmuan maupun dalam berprinsip.

v  Islam liberal memang sangat berbeda dengan ajaran-ajaran yang telah mapan, regional Indonesia khususnya, muslim dunia pada umumnya. Baik cara mereka memandang Alquran, maupau cara mereka berprinsip dalam menentukan suatu hukum.

Akan tetapi perbedaan yang seperti ini jangan lantas berdampak pada sebuah perpecahan dalam tubuh islam. Bukankah Nabi pernah berkata, “ akan pecah umatku menjadi tujuh puluh tiga golongan, semua masuk surga kecuali satu [32]. Mari mencoba mencari persamaan dalam perbedaan, bukan lantas sebaliknya.

Memang pada mulanya apa yang di bawa oleh Islam liberal itu berdamoak pada kecurigaan kaum konservatif, apakah itu murni dari pemikiran islam mereka atau cuma sebatas hukum pesanan yang bertujuan nutuk menggrogoti islam dari dalam. Tetapi itulah wajah yang di tampakkan oleh Islam liberal, yang jelas seperti halnya yang di katakana imam Malik bahwa “kullu qoulin yuqbalu au yuroddu illa qouli shohibi hadzal qobri” (sembari belia menunjuk makam Rosulullah SAW.

Semoga bermanfaat. Amin.

 


[1] Islamlib.com/id/halaman/tentang-jil

[2] Al-azizah.com-ruang-dosen/87-ruang-dosen/160-siapa-jil.html

[3] ibid

[4] ibid

[5] ibid

[6] Islamlib.com/id/halaman/tentang-jil

[7] Al-azizah.com-ruang-dosen/87-ruang-dosen/160-siapa-jil.html

[8] Metodologi studi alquran hal 31

[9] Metodologi studi alquran, hal31

[10] Ibid, hal 11

[11] Ibid, hal 11

[12] Ibid, hal 16

[13]Ijtihad islam liberal hal 3

[14] Metode studi islam, hal 11

[15] Ijtihad islam liberal, hal 4

[16] Secara kronologis, surat yang pertama kali di turokan adalah surat al-‘Alaq ayat 1-5, yang dalam versi Usman menjadi surat yang ke 96. Sedangkan surat (ayat) yang terakhir di turunkan ada beberapa pendapat. Ada yang mengatan surat al- Maidah ayat 3, dan ada juga yang mengatakan sepenggal ayat dari surat ala-Baqoroh ayat 281.

[17] Metodologi stidi alquran hal15

[18] Pada awal penulisannya Alquran memang di tulis dengan bentuk primitive, penulisannya masih dengan tanda baca. System tanda baca baru di temukan pada abad ke-7 ketika Abu al-Aswad al-Dua’alli (wafat 688), seorang sarjana yang bekerja pada Dinasti Umayyah, mencoba mengatasi berbagai kemusykilan dalam pembacaan Alquran.

[19] Ijtihad islam liberal,hal 4

[20] Metodologi studi alquran, hal 17

[21]  Ijtihad islam liberal hal 5

 

[22] Ibid, hal 5

[23] Metodologi studi alquran hal 31

[24] Metodologi setudi alquran hal 140

[25] Ibid, hal 141

[26] Pengantar “Ijtihad islam liberal”.

[27] Ibid 141

[28] Metode studi Alquran hal,148

[29] Lebih jelas lihat metodologi studi alquran hal 149

[30] Metode studi alquran hal151

[31] Al-mastasfa

[32] Jalaluddin Rohmat, Islam Aktual, hal 28

PENDEKATAN SEMANTIK THOSIHIKO IZUTSU

PENDEKATAN SEMANTIK THOSIHIKO IZUTSU

Oleh: Farid Isnan

  1. A.    PENDAHULUAN

Latar Belakang

Berbagai disipilin ilmu baru dalam pendekatan Al-Quran mulai bermunculan seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, zaman, dan agama Islam itu sendiri. Selain hermeneutik dan semiotik, semantik yang concern pada aspek linguistik tampaknya mulai akrab ditelingan para mahasiswa Tafsir Hadist, yang kesehariannya bergelut dengan kajian Al-Quran. Dengan semantik, disiplin ilmu yang relative baru dan “asing” tersebut, mereka berusaha mengurai arti makna kata dalam Al-Quran yang merupakan salah satu objek kajianya.

Semantik pertama kali dipopulerkan oleh ilmuan jepang Toshihiko Izutsu, seorang dosen tamu di Institute of Islamic Studies, McGill University, Montreal, Kanada.  Dia adalah seorang professor pada lembaga studi kebudayaan dan  linguistik Keio University Tokyo. Analisis semantik dia gunakan untuk menelaah kosa kata Al-Quran yang terkait dengan masalah konkrit manusia, kemudian menemukan welthancauung Al-Quran terhadap masalah tersebut.

Dengan munculnya beberapa model pembacaan (baca: tafsir) baru pada Al-Quran seperti semantik, berkonsekuensi logis terhadap munculnya pro-kontra. Terlebih dengan menggunakan istilah yang terkesan “kafir”. Meskipun sebenarnya pengkajian Al-Quran dari sisi kebahasaan bukanlah sesuatu yang “aneh” dalam dunia keilmuan Islam. Sebut saja Tafsir Al-Kasyaf karya Az-Zamakhsari (1144 M). Sebagian ulama, rata-rata dari kalangan akademisi, ada yang setuju dan bahkan menggunakan metode penafsiran baru tersebut. Tetapi sebagian ulama konvensioanal cenderung menolaknya.

Terlepas dari pro dan kontra tersebut, makalah ini akan mencoba meyajikan tentang semantik dan prosedural operasinalnya. Disamping sudah barang tentu menjelaskan siapa itu Thoshihiko Izutsu, backround pendidikannya, dan track record hidupnya. Agar kita sebagai mahasiswa Tafsir Hadits sedikit banyak mengenal apa itu ilmu semantik. Semua itu diupayakan semaksimal mungkin, meski kami yakin akan jauh dari sempurna. Semoga bermanfaat.

Rumusan Masalah

Untuk memudahkan pembahasan, maka kami akan merumuskan beberapa masalah yang kami anggap penting untuk dikaji dalam makalah ini. Yaitu:

ü  Biografi Toshihiko Izutsu

ü  Pembahasan, yang akan memuat :

  • Pengertian dan metode  semantik Toshihiko Izutsu
  • Relevansi pendekatan semantic Al-Quran

ü  Kesimpulan dan penutup

Dengan demikian, disamping memudahkan, pembahasanpun akan lebih fokus pada hal-hal yang urgen dalam semantik Al-Quran.

  1. B.     Biografi Toshihiko Isutzu

Toshihiko Izutsu lahir di Jepang pada tanggal 4 Mei 1914 dan wafat pada 1 Juli 1993. Ia dilahirkan dan dibesarkan dalam suasana agama Zen yang sangat kental. Ayahnya seorang pemimpin agama Zen yang sangat militan dan ketat dalam mendidik dan menanamkan penghayatan terhadap agam Zen, sehingga Toshihiko pun mulai jenuh dan bosan dalam menghayati agama tersebut. Kejenuhannya ini dilampiaskannya dengan mempelajari berbagai bahasa, termasuk bahasa arab, yang merupakan bahasa kitab suci umat Islam, Al-Quran

Izutsu belajar di Fakultas Ekonomi di Universitas Keio, Jepang. Kemudian dengan alasan ingin diajar oleh professor favoritnya,  ia kemudian pindah ke Departemen Sastra Inggris. Ia menjadi asisten peneliti sejak tahun 1937 setelah lulus dengan gelar B.A. Pada tahun 1958 ia telah berhasil menyelesaikan terjemahan pertamanya, Al-Quran dari bahasa Arab  ke bahasa Jepang yang terkenal dengan keakuratan linguistiknya dan banyak digunakan sebagai referensi karya- karya ilmiah dan tugas-tugas akademik. Atas saran dari Shumei Okawa, Izutsu belajar mengenai Islam di East Asiatic Economic Investigation Bureau di tahun yang sama. Kemudian Rocke Fellen Foundation, the human division memberikan dana bantuan kepadanya untuk mendapat tambahan dua tahun study tour di dunia muslim, yaitu pada tahun 1959- 1961.

Toshihiko Izutsu adalah seorang professor yang sangat berbakat di bidang bahasa asing, Ia menguasai lebih dari 30 bahasa, termasuk bahasa Persia, Sankskerta, Pali, Cina, Rusia, dan Yunani. Penelitian yang dilakukan Toshihiko Izutsu bergerak di tempat- tempat seperti Timur Tengah (khususnya Iran), India, Eropa, Amerika Utara dan Asia, dengan penekanan pendekatan filosofis berdasarkan perbandingan agama dalam studi linguistic teks-teks metafisik tradisional. Jadi tidak heran jika beliau mampu mengkhatamkan Al-Quran dalam durasi waktu 1 bulan setelah mempelajari bahasa Arab.

Izutsu memiliki keyakinan bahwa harmoni bisa dipupuk antara masyarakat dengan menunjukkan bahwa banyak kepercayaan yang diidentifikasi masyarakat itu sendiri dapat ditemukan meskipun mungkin dalam bentuk yang berbeda, dalam metafisika yang masyarakatnya sangat berbeda.[1]

Adapun karya tulis beliau yang  pernah dihasilkan diantaranya adalah:

  1. Concept of Belief in Islamic Theology,
  2. Sufism and Taoism: a Comparative Study of the Key Philosophical Concepts,
  3.  Creation and the Timeless Order of Things: Essay in Islamic Mystical Philosophy, Toward a Philosophy of Zen Buddhism, Language and Magic: Studies in the Magical Function of Speech,
  4.  Ethico- Religious Concepts in the Qur’an,
  5.  God and Man in the Koran: Semantiks of the Koranic Weltanschauung.

Untuk karyanya yang telah disebutkan tersebut, Profesor Nobuhiro Matsumoto, Direktur Institut Kebudayaan dan Studi Bahasa Universitas Keio telah membimbing dan tak henti-hentinya menaruh perhatian pada karya beliau  tersebut. Selain itu sahabat karib beliau, Takao Suzuki, juga membantu beliau dalam membacakan bukti- bukti yang berkaitan dengan hasil kajian beliau. Atas karya beliau ini jugalah sehingga beliau mendapatkan beasiswa sumbangan Fukozawa untuk pengajaran dan studi lanjut dari Rektor Universitas Keio, Shohei Takamura. Sehingga pada akhirnya buku- buku hasil kajian beliaiu ini dapat dipublikasikan, Kebanyakan hasil kajian beliau ini adalah materi- materi kuliah yang beliau sampaikan ketika beliau berada di Institut Studi Islam, Universitas McGill, Montreal, Kanada pada musim semi tahun 1962-1963 atas permintaan Dr. Wilferd Cantwell Smith, selaku direktur.[2]

  1. C.     Pembahasan

 Pengertian dan Metode Semantik Toshihiko Isutzu

Istilah Semantik berasal dari Bahasa Yunanisemantikos, yang berarti memberikan tanda. Berasal dari akar kata sema yang berarti tanda. Semantik adalah salah satu cabang linguistic yang mempelajari makna yang terkandung pada suatu bahasa, kode atau jenis representasi lain. Semantik biasanya dikontraskan dengan dua aspek lain dari ekspresi makna (Sintaksis), pembentukan symbol kompleks dari symbol yang lebih sederhana, serta pragmatic, penggunaan praktis symbol oleh seseorang atau komunitas pada suatu kondisi atau konteks tertentu.[3]

Semantik Menurut Toshihiko Izutsu adalah kajian analitik terhadap istilah-istilah kunci suatu bahasa dengan suatu pandangan yang akhirnya sampai pada pengertian konseptual weltanschauung (pandangan dunia) masyarakat yang menggunakan bahasa tersebut, tidak hanya sebagai alat bicara dan berfikir, akan tetapi yang lebih penting lagi adalah pengkonsepan dan penafsiran dunia yang melingkupinya. Penerapan metode semantik terhadap al-Qur’an berarti berusaha menyingkap pandangan dunia al-Qur’an melalui analisis semantik atau konseptual terhadap bahan-bahan dalam al-Qur’an sendiri, yakni kosa-kata atau istilah-istilah penting yang banyak dipakai oleh al-Qur’an.

Ada banyak hal yang bisa dilakukan dalam upaya mengetahui arti dari sebuah kata asing, salah satu yang paling sederhana adalah dengan mengartikan dengan kata yang sama dalam bahasa itu sendiri. Akan tetapi upaya seperti ini sangat tidak dapat diandalkan, karena tergolong dalam kategori penarikan kesimpulan secara tergesa-gesa yang jauh lebih sering menyesatkan daripada mencerahkan.  Kata Dzalim diterjemahkan sebagai penjahat, kesamaan antara Dzalim=penjahat jika diberikan kepada pendengar dan pembaca  yang hanya mengetahui arti penjahat, tidak ada cara lain bagi mereka untuk mempelajari arti Dzalim selain meletakkannya kedalam kategori semantik dari penjahat. Mereka tidak memahami secara langsung melainkan melalui analogi dengan konotasi penjahat. Dengan melalui kategori semantik dari kata lain yang dibentuk dalam kultur yang terasing seperti ini, pengertian kata berada dalam bahaya distorsi.

Lebih jauh sebelum Izutsu mengembangkan metode semantiknya untuk memahami makna al-qur’an, ia memposisikan al-qur’an sebagai sebagai sebuah teks atau catatan otentik  berbahasa Arab, dan mengesampingkannya sebagai wahyu Illahi. Ini bertujuan agar pemaknaan terhadap kosa-kata tersebut dapat dijauhkan dari bias idiologi atau persepsi apapun yang dapat mempengaruhi proses pemaknaan secara murni terhadap istilah yang berasal dari al-Qur’an sendiri, disamping itu juga supaya kitab al-Qur’an dapat dipahami dan dikaji secara ilmiah oleh siapapun.[4]

Selanjutnya Izutsu mulai menganalisa struktur kata atau kalimat yang sedang dikaji. Pertama, ia mencari makna dasar dan makna relasional dari suatu kata. Menurut Izutsu kategori semantik dalam sebuah kata biasanya cenderung sangat kuat dipengaruhi oleh kata-kata yang berdekatan yang termasuk dalam daerah pengertian yang sama. Dan jika frekuensi penggunaan kata tersebut dengan dihadapkan pada kata yang berlawanan sering ditemukan, maka secara semantik kata tersebut perlu memperoleh nilai semantik yang nyata dari kombinasi spesifik ini. seperti kata kafir yang mempunyai dua makna ketika dihadapkan dengan kata yang berbeda. Ketika berhadapan dengan kata syakir, ‘seseorang yang berterima kasih’, maka kafir tersebut bermakna ingkar terhadap nikmat Tuhan. Akan tetapi jika kafir dalam suatu kalimat berlawanan dengan kata mu’min, makna yang diperoleh mengarah pada kafir teologis atau mengarah pada mengingkari keesaan Tuhan.[5]

Oleh karena itu untuk mengetahui perubahan seperti ini, Izutsu menekankan perlunya mencari makna dasar dan makna relasional untuk memahami sebuah arti kata. makna dasar menurut Izutsu, adalah sesuatu yang melekat pada arti kata itu sendiri dan selalu terbawa dimanapun kata itu diletakkan. Sementara dan makna rasional makna relasional adalah makna konotatif yang diberikan dan ditambahkan pada makna yang sudah ada dengan meletakkan sesuatu itu pada posisi khusus, berada pada relasi yang berbeda dengan semua kata-kata penting lainnya dalam sistem tersebut. Makna relasional ini terjadi ketika sebuah kata dikaitkan dengan kata yang lain.

Kedua, Izutsu menjelaskan pandangan keduniaan yang dimiliki Al-Qur’an. Dan ini adalah langkah terakhir dan paling utama dalam kajian semantik. Dalam langkah ini Izutsu mengajak kita mempertanyakan tentang bagaimana al-Qur’an memakai kata itu dan bagaimana hubungan kata itu dengan kata-kata yang lain, di manakah posisinya, fungsinya, pengaruhnya dan sebagainya. Izutsu cenderung menyetujui teori pluralistic yang menyatakan bahwa pandangan suatu bangsa mengenai apa yang baik dan buruk atau benar dan salah, berbeda dari satu tempat ke tempat lain dan dari waktu ke waktu. Juga berbeda secara fundamental bukan dalam tingkatan suatu skala kesatuan perkembangan kultural yang dapat dijelaskan sejauhnya mengenai rincian hal yang remeh temeh, akan tetapi berbeda dalam divergensi-divergensi kultural yang lebih mendasar yang akar-akarnya tertanam dalam kebiasaan-kebiasaan bahasa dari masing-masing komunitas individual. [6]

Akan tetapi Meskipun diturunkan dalam bahasa Arab, konsep-konsep yang terkandung dalam al Qur’an bermuara pada pandangan dunia yang berbeda dengan pandangan dunia Arab Jahiliyah. Dengan analisis semantik, saling hubungan antara kosa kata dengan konsep-konsep yang terkandung dalam ayat-ayatnya, seringkali memunculkan makna baru yang berbeda dengan pemaknaan orang Arab Jahiliyah. Dalam metode analisa semantiknya ini Izutsu berusaha membuat al-Qur’an menginterpretasikan konsep-konsepnya sendiri dan bicara untuk dirinya sendiri, dengan mengeksplorasi data-data yang berasal dari al-Qur;an itu sendiri. [7]

Relevansi Pendekatan Semantik Al-Quran

Setelah kita mengetahui tahapan operasional dalam semantik, sekarang saatnya untuk menunjukkan relevansinya. Dalam pembahasan kali ini akan dicoba menerapkan teori semantik pada salah satu kata kunci dalam Al-Quran. Dan dengan begbagai pertimbangan, kami memilih kata nisaa sebagai obyek terapan dari teori tersebut.[8]

Kata nisaa dalam berbagai bentuknya, niswah, nisa_ukum, nisa_ikum, nisa_uhum, nisa_ihim, nisa_ihim, nisa_ihinna, dan nisa_ana, terulang sebanyak 56 kali dalam Al-Quran, dan kesemuanya mewakili objek perempuan, yang meski disebutkan dalam konteks yang berbeda-beda. Seperti:

  1. Tentang wanita haidh dan keadaanya.

Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah : “Haidh itu adalah kotoran. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh….(QS.Al-Baqarah: 222)

  1. Tentang wanita sebagai perhiasan.

Dijadikannya indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepaada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. (QS. Ali-Imran: 14).

  1. Perempuan sebagai bagian dari proses regenerasi.

Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari nafs yang satu (sama), dan darinya Allah menciptakan pasangannya, dan dari keduanya Allah memperkembangbiakan laki-laki dan perempuan yang banyak. (An- Nisa: 1).

  1. Tentang hak perempuan dalam pewarisan.

Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu- bapak dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya. (QS. An-Nisaa: 7)

  1. Perempuan dapat berkarir atau berkarya.

Karena) bagi laki-laki dianugerahkan hak (bagian) dari apa yang diusahakan, dan bagi perempuan dianugerahkan hak (bagian) dari apa yang diusahakannya (QS.An Nisa: 32)

  1. Tentang posisinya dalam bidang keluarga.

Kaum laki-laki adalah pemimpin bagikaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka(laki-laki) atas sebagian yang lain(wanita). (QS. An-Nisaa: 34)

  1. Tentang potensi wanita dalam syahwat (libido).

Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita. (QS. Al-A’raf : 81)

Mengapa kamu mendatangi laki-laki untuk (memenuhi) nafsu(mu), bukan(mendatangi) wanita? (QS.An-Naml:55)

  1. Nisaa dalam pengertian sebagai perempuan yang memiliki potensi untuk taqwa.

Hai istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain jika kamu bertaqwa (QS. Al Ahzab: 32).

Dilihat dari komponennya, nisaa berarti perempuan secara umum, tak peduli dia kaya atau miskin, cantik atau tidak, baik bariman maupun kafir. Nisaa yang memiliki makna dasar perempuan secara umum tersebut jika diterapkan pada sebuah ayat akan menampakkan beberapa fungsi darinya, sebagai makna relasional. Seperti jika dilihat kombinasi pada ayat-ayat di atas, akan menunjukkan adakalanya nisaa menunjukkan pada sosok mahkluk yang memiliki potensi nafsu. Atau adakalanya dia adalah makluk sebagai oposisi biner dari kaum laki-laki yang memiliki fungsi yang sama penting dalam proses regenerasi.

Maka, jika ditelaah secara komprehensif, akan diperoleh welthancauung Al-Quran tentang kata nisaa dari segi semantis, yaitu kata yang digunakan dalam konteks sebagai oposisi biner kaum laki-laki yang memiliki hak-hak dan kewajiban yang setara meski tak sama. Begitupun dia, perempuan, memiliki signifikansinya sendiri dalam laju kehidupan dan memiliki beberapa potensi-potensi, dan lain sebagainya.

Dari analisa semantik pada ayat-ayat di atas, dapat disimpulkan bahwa penggunaan kata nisaa menunjukkan objek perempuan secara umum, dengan segala peran dan kedudukannya.  Antara lain:

ü  Dalam ranah sosial. Yaitu perempuan memiliki kesempatan yang sama untuk berkarir dan mendapatkan reward atas apa yang telah dikerjakan, dan juga hak untuk mendapatkan harta pusaka.

ü  Dalam aspek alamiah. Yaitu sebagai penyempurna laki-laki dalam melaksanakan peran reproduksi dan regenerasi yang “operasionalnya” dibatasi dengan siklus haidl. Disamping perempuan sebagai objek yang memiliki potensi seks dan sesuatu yang indah yang berpotensi untuk sangat disayangi dan dibanggakan.

ü  Dalam ranah sepiritual. Yaitu, perempuan miliki potensi untuk menjadi hamba yang unggul dengan sebuah ketakwaan.

 

  1. D.    Kesimpulan dan penutup

Metode pembacaan Al-Quran dengan menggunakan pendekatan bahasa sebetulnya bukanlah hal baru. Tetapi lantas dikemas dengan nama semantik adalah berkat jasa Toshihiko Izutsu. Beliau adalah professor kenamaan asal Jepang yang mahir dalam berbahasa asing, bahkan konon kabarnya beliau menguasai 30 bahasa asing, termasuk bahasa Arab, Yunani, Sankskerta, Persia, dan Cina. Beliau adalah orang pertama yang berhasil menerjemahkan Al-Quran kedalam bahasa Jepang.

Semantik berasal dari Bahasa Yunanisemantikos, yang berarti memberikan tanda. Berasal dari akar kata sema yang berarti tanda. Semantik Menurut Toshihiko Izutsu adalah kajian analitik terhadap istilah-istilah kunci suatu bahasa dengan suatu pandangan yang akhirnya sampai pada pengertian konseptual weltanschauung (pandangan dunia) masyarakat yang menggunakan bahasa tersebut, tidak hanya sebagai alat bicara dan berfikir, akan tetapi yang lebih penting lagi adalah pengkonsepan dan penafsiran dunia yang melingkupinya.

Dalam metode semantik, izutsu menggunakan dua tahapan dalam mengkaji dan menganalis struktur suatu kata. Tetapi, sebelum kedua hal tersebut dioperasionalkan dalam Al-Quran, terlebih dahulu izutsu menempatkan Al-Quran hanya sebagai teks otentik yang berbahasa arab, mengesampingkan wahyu ilahi. Pertama,  di cari makna dasar dan makna relasional dari suatu kata. Menurut Izutsu kategori semantik dalam sebuah kata biasanya cenderung sangat kuat dipengaruhi oleh kata-kata yang berdekatan yang termasuk dalam daerah pengertian yang sama. Dan jika frekuensi penggunaan kata tersebut dengan dihadapkan pada kata yang berlawanan sering ditemukan, maka secara semantik kata tersebut perlu memperoleh nilai semantik yang nyata dari kombinasi spesifik ini.

Kedua, menjelaskan pandangan keduniaan yang dimiliki Al-Qur’an. Dan ini adalah langkah terakhir dan paling utama dalam kajian semantik. Dalam langkah ini Izutsu mengajak kita mempertanyakan tentang bagaimana al-Qur’an memakai kata itu dan bagaimana hubungan kata itu dengan kata-kata yang lain, di manakah posisinya, fungsinya, pengaruhnya dan sebagainya.

Demikian makalah ini disampaikan, yang pasti masih sangat banyak kekurangan. Oleh karena itu, saya memohon kerelaan teman-teman untuk memberikan saran dan kritiak untuk menjadikannya semakin lebih baik. Tetapi, terlepas dari itu semua saya berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk kita semua. Amin.


[1] Wikipedia, Toshihiku Izutsu, di akses dari http//en.wikipedia.org/wiki/Toshihiku-izutsu, diakses pada tanggal 22 Nopember, Pukul 16.27

[2] Toshihiku Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia: Pendekatan Semantik terhadap AlQuran,  (Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 2003), hal xvii.

[3] . http://id.wikipedia.org/wiki/Semantik diakses pada tanggal 22 Nopember pada pukul 19.23 WIB

[4] . Toshihiko Izutsu, op.cit  hal. 11

[5] . Toshihiko Izutsu,Etika Beragama dalam Al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka firdaus, 1993) hal, 41

[6] . ibid hal, 8

[7] . ibid hal, 3

[8] Diambil dari firman-nigroho.blogspot.com/2010/07/pendahuluan-al-quran-secara-khusus-, diakses pada tanggal 23 Nopember pada pukul 20.00 WIB, dengan revisi.